Agama dan Moral
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Bangsa
Indonesia di kenal sebagai bangsa yang beraneka ragam budaya, bahasa, suku
terlebih lagi bangsa Indonesia juga di kenal sebagai Bangsa yang beradab dan
mempunyai moral yang baik tehadap sesama, namun ironisnya melihat realita
sekarang semakin tahun Moral Bangsa kita sudah mulai luntur dan bisa
dimungkinkan lama kelamaan Bangsa kita dikenal oleh bangsa lain sebagai Bangsa
yang tidak mempunyai Moral.
Sudah kita
ketahui bahwasanya pendidikan anak usia dini di dunia yang berkembang sudah
berjalan cukup lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat, namun
di Negara kita berjalan belum cukup lama, tapi setidaknya sudah mulai mengikuti
perkembangan-perkembangan di Negara maju. Ini sebagai upayah pemerintah agar
anak bangsa bisa mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga
membekali peserta didik dengan moral dan disiplin yang baik, selanjutnya tujuan
dari pada pemerintah yakni membekali anak usia dini agar ketika manjalani
jenjang pendidikan yang lebih tinggi supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan
bisa lebih cepat dan mudah karna sudah adanya bekal sejak kecil.
Ada tiga konsep
yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja, yaitu
nilai, moral dan sikap. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis,
sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Kehidupan modern sebagai dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagai perubahan,pilihan dan
kesempatan,tetapi mengandung berbagai resiko akibat kompleksitas kehidupan yang
ditimbulkan adalah munculnya nilai-nilai modern yang tidak jelas dan
membingungkan anak. Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan
dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah.
Oleh karena
itu, sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kita harus bisa
memahami pola-pola prilaku masyarakat terutama remaja yang akan kita didik
nanti agar dapat menjadi pribadi teladan yang akan mengajar, mendidik dan
memahami kondisi remaja yang akan kita hadapi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Esensi
Penanaman Nilai-Nilai Agaman
Menurut
pandangan ajaran agama khususnya islam, setiap manusia yang lahir berada dalam
keadaan suci, dan factor penentu kualitas keagamaan anak itu sendiri banyak
ditentukan oleh peran serta kedua orang tuanya. Landasan itu memberi makna bagi
kita bahwa ternyata factor lingkungan keluarga adalah peringkat pertama yang
akan memberi warna dasar bagi nilai-nilai keagamaan anak. Dengan demikian peran
serta orang tua tidek boleh asal dan hanya sekedarnya saja pada saat memulai
pengenalan pengetahuan dan pengembangan
nilai-nilai keagamaan anak. Agar anak memiliki kualitas fondasi agama yang
kokoh , maka orang tua harus berperan serta secara berkualitas. Menurut Badudu
Zein (1996), anak adalah keturunan pertama (setelah ibu dan bapak). Anak-anak
adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai potensi
laten untuk tumbuh dan berkembang.
B.
Munculnya
Nilai Agama Pada Diri Anak Taman Kanak-Kanak
Nilai-nilai
agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses pendidikan dan
pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh
pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman
belajarnya., akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi
dalam menghayati apa yang telah dipelajarinya. Lain halnya dengan anak yang
mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam keluarganya, tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat agamis, kawan sebayanya taat beribadah,
ditambah dengan pengalaman-pengalaman
keagaamaan yang baik disekolah maupun tempat-tempat ibadah maka dengan
sendirinya anak itu akan memiliki kecenderungan untuk hidup dengan kebiasaan
nilai-nilai agama yang dianutnya.
1.
Fenomena Munculnya
Nilai Keagamaan Anak
Rasa
keagamaan dan nilai-nilai keagamaan akan tumbuh dan berkembang pada diri anak
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak itu
sendiri.
Demikian
pun dengan pengetahuan keagamaan, anak Taman Kanak-Kanak perlu diperkenalkan
dengan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya. Anak menjadi mengenal tuhan dari
bahasa yang diucapkan oleh orang dewasa yang ada disekelilingnya.
2.
Perkembangan
Nilai-nilai Keagamaan Anak
Ada
beberapa factor yang dapat mempengaruhi perkembangan nilai-nilai keagamaan pada diri anak, yaitu :
a.
Factor pembawaan
(Internal)
Perbedaan
hakiki antara manusia dengan hewan adalah dimilikinya akal pikiran yang
merupakan potensi termahal dan tidak dimiliki oleh makhluk b lain sesame
ciptaan Tuhan. Akal pikiran itu diharapkan akan mampu membimbing dan
mengarahkan serta mendorong manusia ke jalan yang benar, mampu membedakan yang
baik dengan yang buruk dan membentuk peradaban kehidupan yang sempurna sebagai
insan mulia.
b.
Faktor Lingkungan
(Eksternal)
Factor
pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan
berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor
luar (Eksternal) yang memberi rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah
itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Factor
eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup,
yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam ilmu pendidikan
kondisi fisik anak sangat jauh berbeda
dengan orang dewasa, dalam banyak hal. Anak-anak sesuai dengan fisiknya yang
kecil, dalam pandangan pikiran dan kemampuannya pun memiliki keterbatasan
dibandingkan dengan kemampuan orang dewasa. Jadi, akan sangat tidak manusiawi
apabila ada diantara kita yang mengukur kemampuan anak dengan ukuran dan
kriteria kemampuan orang dewasa dan memperlakukan anak disamakan dengan orang dewasa.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa kemungkinan tentang sifat-sifat pemahaman
anak Taman Kanak-kanak terhadap nilai-nilai keagamaan pada saat mengikuti
kegiatan belajar mengajar, yaitu :
a.
Unreflective
Istilah unreflective
menurut Jhon Eckol (1995) dapat dimaknai sebagai tidak mendalam, tidak/kurang
dapat memikirkan secara mendalam atau anak tidak dapat merenungkannya. Artinya
salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang
abstrak, seperti pengetahuan/ajaran agama, tidak merupakan hal yang harus
diperdulikan dengan serius.
Secara nyata kita
dapat menemukan bahwa hakikat pemahaman dan kemampuan anak dalam mempelajari
nilai-nilai agama yang sering menampilkan suatu hal yang tidak serius (seperti layaknya orang dewasa), bercanda,
main-main dan asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya.
b.
Egocentris
Sifat yang kedua ini
memiliki makna bahwa pada diri anak sesuai dengan perkembangan kejiwaannya
lebih mementingkan kemauan dirinya sendiri dalam segala hal. Tidak perduli dengan
urusan orang lain dan lebih terfokus pada hal-hal yang menggantungkan dirinya.
Demikian pun dengan sifat anak pada saat mempelajari nilai-nilai agama yang
dipelajarinya.
c.
Misunderstand
Ketika kita
membicarakan berbagai hal yang bersifat abstrak, ( seperti masalah-masalah
ajaran agama) kepada orang dewasa, kitatidak dapat menjamin bahwa apa yang kita
maksud akan mampu dipahami dengan 100% benar oleh orang dewasa.
Demikian pula, sangan
mungkin al itu (misunderstand) akan muncul dikalangan anak-anak di usia
prasekolah, ketika kita mengenal berbagai hal yang terkait dengan pengembangan
nilai-nilai agama. Dilandasi oleh belum sempurnanya komponen psokologis dan
fisiologis anak didik, tentu akan banyak hal yang dapat kita tangkap, seperti
terjadinya salah persepsi ketika mereka belajar memahami makna dari sebuah
ajaran/pengetahuan agama yang bersifat abstrak tersebut. Seperti yang
diungkapkan oleh sistem pendidikan neo humanis dalam masalah spiritualitas
dikatakan bahwa: bagi anak kecil, segala-galanya itu semua hidup, dan menjadi
sumber kekaguman (I. Ketut, 1999:84).
d.
Verbalis dan Ritualis
Anak usia taman
kanak-kanak sekitar 3 sampai 6 tahun, berada pada fase perkembangan kosa yang
sangat pesat. Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth B. H. 1997:188): setiap
anak belajar berbicara, mereka berbicara hampir tidak putus-putusnya.
Keterampilan baru menimbulkan rasa penting bagi mereka.
C. Tahapan
Perkembangan Moral
Menurut
Kohlberg ada tiga tahapan perkmbangan:
1.
Tingkatan
tahapan Prokonvensional
Dimana aturan
ini berisi tentang ukuran Moral yang di buat otoritas oleh lembaga terkait,
pada tahapan perkembangan ini anak –anak tidak akan melanggar ketentuan yang
berlaku di lembaganya, di karnakan merasa takut atas ancaman dan
hukuman yang telah di tentukan oleh lembaganya, sehingga anak secara tidak
sadar di tuntut untuk melaksanakan peraturan dan takut melakukan larangan yang
ada imbasnya anak akan selalu melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan
yang jelek.
Tingkatan yang pertama ini di
bagi dua (2) tahap lagi:
o
tahap
orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman: pada tahap ini anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada ini di tentukan oleh adanya kekuasaan
yang mana tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Jadi dalam tahapan ini mau
atau tidak harus mentaati peraturan yang ada, di karnakan kalau tidak anak akan
mendapatkan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan.
o
Tahap
Relativistik hedonosme: pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung
pada peraturan yang berlaku diluar dirinya yang di lakukan oleh orang lain yang
mempunyai otoritas. Jadi dalam hal ini anak sudah memulai sadar bahwa setiap
kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (Relativisme )
orang yang membuat peraturan dan kesenangan seseorang.
2.
Tingkatan tahap
Konvensional: dalam hal ini anak dituntut untuk mematuhi peraturan yang telah
disepakati bersama-sama agar dia mau diterima di kelompok sebayanya.
Kelompok ini
tediri dari dua (2) tahap:
Ø Tahap Orientasi mengenai anak yang baik: dalam
tahapan ini anak mulai memperlihatkan orientasi terhadap perbuatan yang di
nilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau sekitarnya. Sesuatu dikatakan
baik dan banar apabila segala sikap dan prilaku atau perbuatanya dapat di
terima oleh orang lain atau sekiternya.
Ø Tahapan mempertahankan Norma sosial dan otoritas
: pada tahapan ini anak anak mulai menunjukan perbuatan yang benar bukan hanya
agar supaya diterima oleh lungkungan atau sekitarnya saja akan
tetapi juga bertujuan agar supaya dirinya dapat ikut serta mempertahankan
aturan dan norma atau nilai social yang ada sebagai kewajiban dan tanggung
jawab Moral untuk melaksanakan peraturan yang ada.
3.
Tingkatan
tahapan pasca Konvensional: pada tahapan ini anak mematuhi peraturan untuk
menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkatan
ini juga terdiri dari dua (2) tahap:
§
Tahap
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Pada
tahap ini ada hubungan timbale balik antara dirinya dengan lingkungan sosial
dan masyarakat. Jadi dalam tahap ini anak akan menaati aturan sebagai kewajiban
dan tanggung jawab atas dirinya dalam menjaga keserasian hidupnya di
sekitarnya.
§
Tahapan
Universal: pada tahap ini selain ada norma pribadi yang
bersifat subyektif ada pula norma etik ( baik atau buruk, benar atau
salah ) yang bersifat unifersal sebagai sumber menentukan suatu perbuatan yang
berhubungan dengan moralitas.
Perkembangan sosial dan moral yakni
suatu proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan
cara anak berkomunikasi dengan orang lain baik sebagai indifidu maupun
kelompok.
Akan tatapi
menurut J.Buul perkembangan moral dibagi menjadi empat(4) yaitu:
1)
Tahap anomi
Ketidak
mampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap di kembangkan
dalam lingkungan. Artinya bayi lahir dalam keadaan fitrah ( mempunyai potensi )
yang selalu siap untuk di kembangkan. Jadi tergantung yang mau member warna
kehidupan,sikap,prilaku,moral yang akan di tanamkan sejak dini pada dirinya.
2)
Tahap
heteromoni
Dimana moral
yang berpotensial dipacu berkembang orang lain atau otoritas melalui aturan dan
kedisiplinan. Artinya dengan bantuan orang lain baik keluarga maupun lingkungan
itu yang akan memacu perkembangan moralnya.
3)
Tahapan
Sosionami
Dimana moral
berkembang di tengah sebaya atau dalam masyarakat, mereka lebih menaati
peraturan kelompok daro pada yang bersifat otoritas.
4)
Tahap
Otonomi
Tahapan ini
mengenai tantang moral yang mengisi dan mengendalikan kata hatinya sendiri
serta kemampuan bebasnya untuk berprilaku tanpa campur tangan orang lain atau
lingkungan.
Ada pendapat yang mengatakan anak
dilahirkan itu membawa fitrah keagamaan. Fitra itu baru berfungsi dikemudan
hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan. disamping itu perkembangan anak pada usia dini ditandai dengan
aspek moralitas heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih
kesuatu tahap yang perkembanganya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas
otonom.
D. Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral
seperti yang dikemukakan oleh
Kohlberg dan Piaget menunjukan bahwa sikap dan prilaku moral bukan hasil dari
sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan
dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi oleh sebab akibat dari
aktivitas spontan yang di pelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak
dengan lingkunganya.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
a)
peraturan
sebagai pola yang ditetapkan untuk berprilaku dimana anak itu tinggal. Mempunyai nilai pendidikan
tentang arah yang akan diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang
prilaku yang tidak diinginkan.
b)
Hukuman akan
diberikan apabila anak melakukan kesalahan atau bertindak yang tidak sesuai
dengan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dimana dia hidup. Hukuman
yang menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan
atau tidak sesuai, mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi
anak untuk tidak berprilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c)
Penghargaan
diberikan apabila anak telah melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang
berlaku, mendidik anak dan memotifasi anak agar mengulangi prilaku yang baik
dan benar sesuai dengan harapan masyarakat.
d)
Konsistensi
atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau
buruk . disiplin dapat barmanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap
prilaku, menimbulkan kepekaan atas sikap yang baik, benar dan adil serta
mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap prilaku disiplin merupakan bagian
yang terInternalisasi pada anak secara keseluruhan.
E. Pengembangan Kemampuan Moral dan Agama Anak Usia
Dini
Di dalam kehidupan bermasyarakat
arti nilai sebuah moral sangat penting.
Menurut Hurlock, istilah moral berasal dari kata latin mos (moris), yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai- nilai atau prinsip-prinsip moral (Yusuf,2002). Konsep moral sudah
dapat dibentuk sejak masa anak yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun.
Meskipun sudah dipelajari sejak kecil, namun setelah dewasa manusia tetap
berhadapan dengan masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam
berhubungan dengan orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan
dengan perkembangan kognitifnya.
Dengan makin bertambahnya tingkat
pengetahuan, makin banyak pula nilai-nilai moral. Menurut Hurlock
(Sianawati,dkk, 1992) meskipun perkembangan peserta didik melewati pentahapan
yang tetap, namun usia mereka dalam mencapai tahapan tertentu berbeda menurut
tingkat perkembangan kognitif mereka. Menurut Gunarsa (1989) keluarga merupakan
lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk
seterusnya anak banyak belajar di dalam
kehidupan keluarga. Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangaan moral seorang anak. Pengembangan moral anak usia dini dilakukan
agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya
pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar
serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menentukan perilaku moral. Ada
tiga strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu:
strategi latihan dan pembiasaan, strategi aktivitas dan bermain, dan strategi
pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
a. Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan
strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak,
termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku
yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati
anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan
yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
b. Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang
dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan
perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005:
116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi
melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan
menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan
sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya namun belum mengikuti
aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama berdasarkan aturan
yang berlaku.
c. Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia
dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat
disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang
diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti
kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini
tidak diberikan secara formal tapi merupakan pembiasaan dalam kegiatan
sehari-hari dengan cara bermain, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada
anak-anak usia dini dengan ciri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan
perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara
tahapan yang satu dengan lainnya.
Pada anak usia 0 – 2 tahun
pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan
pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih
diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi
lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan
pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan
dengan perilaku baik dan buruk.
F. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak
Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (Lilis
Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran,
diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan
sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan
memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal
dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman
dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbagai situasi.
Keberminatan anak terhadap agama
sudah mulai muncul sejak usia dini. Akan tetapi, minat terhadap agama ini tidak
dapat selalu ditafsirkan bahwa anak mulai menunjukkan sikap rajin beribadah
sesuai dengan ritual keagamaan keluarganya. Rasa ingin tahu anak terhadap agama
biasanya muncul melalui banyak pertanyaan yang berkaitan dengan agama, seperti
“Apakah Tuhan memiliki mata sehingga Dia bisa melihat semua perbuatan yang kita
lakukan?” atau “Dimanakah Tuhan bertempat tinggal? Atau pertanyaan lain yang
mengusik seperti “Apakah Tuhan itu ada?”
Konsep anak tentang agama sangat
realistik karena anak menterjemahkan apa yang didengar dan dilihat sesuai
dengan apa yang sudah diketahuinya. Bagi anak, Tuhan dapat berwujud, seperti
seseorang yang berambut putih, berjanggut putih dan panjang serta berpakaian
serba putih. Contoh lainnya, anak mungkin
mendeskripsikan sesosok malaikat sebagai makhluk yang berjenis kelamin
laki-laki atau perempuan dan baik hati
Tahap Usia 0 - < 12 Bulan :
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki
kemampuan untuk mendengar sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai agama dan moral, guru dapat memberikan
stimulasi melalui : Pengenalan senandung
lagu bernuansa imtak kepada Anak
Ø
Pengenalan doa-doa singkat yang
dibacakan kepada Anak
Ø
Bercerita yang bernuansa keimanan
kepada Anak
Ø
Mengenalkan Nama Tuhan Kepada Anak
(sesuai dengan agama masing)
Ø
Memberikan belaian kepada Anak untuk
dapat memberikan rasa sayang dan cinta kasih
Ø
Mengenalkan ungkapan syair/pantun
bernuansa keimanan kepada Anak
Ø
Mengenalkan kalimat/kata-kata yang
baik kepada Anak
Tahap Usia 12 - < 24 Bulan :
Pada tahap usia ini, anak diharapkan
memiliki kemampuan untuk mendengar, mengikuti, meniru, merawat benda-benda
serta mengenal nama Tuhan, sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai agama dan moral, guru dapat memberikan
stimulasi melalui :
Pengenalan dan
mengajak Anak untuk menirukan senandung lagu bernuansa imtaq
Ø Pengenalan dan
mengajak Anak untuk mengikuti/menirukan bacaan doa sebelum dan sesudah
melakukan kegiatan
Ø Mengenalkan dan
mengajak Anak untuk mengikuti dan menirukan sebagian gerakan ibadah
Ø Pengenalan dan
bercerita serta meminta respon Anak terhadap cerita bernuansa imtak
Ø Mengenalkan dan
mengajak Anak untuk menirukan sebutan nama Tuhan (sesuai dengan agama masing2)
Ø Memberikan
belaian dan rangkulan kepada anak untuk mengajak anak agar dapat merasakan dan
menunjukkan rasa sayang cinta kasih yang diberikan kepadanya
Ø Merawat dan
merapikan benda-benda/mainan
Ø Pengenalan dan
mengajak anak menirukan syair/pantun
sederhana bernuansa imtak
Ø Pengenalan dan
mengajak anak meniru kata-kata yang baik
Tahap Usia 2 – <4 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan
memiliki kemampuan untuk meniru dan memahami, sehingga dalam mengembangkan
nilai-nilai agama dan moral, guru dapat memberikan
stimulasi melalui :
a. Usia 2 –
<3 Tahun
Pada tahap usia ini, sesuai dengan
indikator dalam Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak, stimulasi yang
dapat diberikan oleh guru dalam mengembangkan kemampuan moral dan agama anak
adalah :
Ø Meniru gerakan
berdoa/sembahyang sesuai dengan
agamanya.
Ø Melafalkan dan
meniru doa pendek sesuai dengan agamanya.
Ø Memahami kapan
mengucapkan salam, terima kasih, maaf, dsb.
b. Usia 3 –
<4 Tahun
Pada tahap usia ini, sesuai dengan
indikator dalam Standar Pencapaian Perkembangan Anak, stimulasi yang dapat
diberikan oleh guru adalah :
Ø Mulai memahami
pengertian perilaku yang berlawanan meskipun belum selalu dilakukan seperti
pemahaman perilaku baik-buruk, benar-salah, sopan- tidak sopan.
Ø Mulai memahami
arti kasihan dan sayang kepada ciptaan Tuhan
Tahap Usia 4 – <6 Tahun
a. Usia 4 –
<5 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan
memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, meniru gerakan ibadah, mengucapkan
doa, mengenal baik dan buruk serta mengucapkan dan membahas salam, sehingga
dalam mengembangkan nilai-nilai agama
dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui :
·
Mengenalkan Tuhan melalui agama yang
dianutnya.
·
Meniru dan melakukan gerakan
beribadah.
·
mengucapkan doa sebelum dan/atau
sesudah melakukan sesuatu.
·
Mengenal dan melakukan perilaku
baik/sopan dan buruk.
·
Membiasakan diri berperilaku baik.
·
Mengucapkan dan membalas salam
b. Usia 5 –
<6 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan
memiliki kemampuan untuk mengenal agama yang dianut, membiasakan beribadah,
memahami perilaku mulia, membedakan perilaku baik dan buruk , mengenal ritual
dan hari besar agama, serta toleransi beragama sehingga dalam mengembangkan
nilai-nilai agama dan moral, guru dapat
memberikan stimulasi melalui :
·
Mengenalkan kepada anak agama yang dianut.
·
Membiasakan diri beribadah.
·
Memahami perilaku mulia (jujur,
penolong, sopan, hormat, dsb).
·
Mengenalkan anak perilaku baik dan
buruk.
·
Mengenalkan anak pada ritual dan hari besar agama.
·
Menghormati agama orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya setiap permainan dapat mengembangkan nilai moral dan agama
pada anak, meskipun kita tidak dapat melihat efeknya secara langsung. Melalui
permainan anak-anak sedikit demi sedikit belajar memahami nilai-nilai moral dan
agama yang ada dilingkungannya dengan pengawasan dan bimbingan yang mendukung
dari orang dewasa yang ada di lingkungan bermain anak. Nilai moral seperti
kejujuran, toleransi, empati, hati nurani yang mengacu kepada pengaturan
internal standar benar dan salah di dapat anak melalui interaksi dengan teman
sebaya pada saat bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, E. B.,
1999. Perkembangan Anak Jilid 2 (Edisi 6). Penerbit Erlangga : Jakarta
Mayke S.
Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mianan dan Permaianan. Jakarta : PT. Gramedia
Widiasrana indobesia.
Munandar.
S.C.U., 1995 Perkembangan Kreativitas Anak Berbakat. Rineka Cipta kejasama dengan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Santrock, Jhon
W, 2011. Masa Perkembangan Anak. Salemba Humanika : Jakarta
Sumintarsih,
2008. Permainan Tradisional Jawa. Penerbit kepel press : Yogyakarta
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2009), hlm. 149
Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini,
(Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010), hlm. 113-114
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996), hlm. 63-64
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 47-48
Komentar
Posting Komentar