Agama dan Moral

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Bangsa Indonesia di kenal sebagai bangsa yang beraneka ragam budaya, bahasa, suku terlebih lagi bangsa Indonesia juga di kenal sebagai Bangsa yang beradab dan mempunyai moral yang baik tehadap sesama, namun ironisnya melihat realita sekarang semakin tahun Moral Bangsa kita sudah mulai luntur dan bisa dimungkinkan lama kelamaan Bangsa kita dikenal oleh bangsa lain sebagai Bangsa yang tidak mempunyai Moral.
Sudah kita ketahui bahwasanya pendidikan anak usia dini di dunia yang berkembang sudah berjalan cukup lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat, namun di Negara kita berjalan belum cukup lama, tapi setidaknya sudah mulai mengikuti perkembangan-perkembangan di Negara maju. Ini sebagai upayah pemerintah agar anak bangsa bisa mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga membekali peserta didik dengan moral dan disiplin yang baik, selanjutnya tujuan dari pada pemerintah yakni membekali anak usia dini agar ketika manjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan bisa lebih cepat dan mudah karna sudah adanya bekal sejak  kecil.
Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja, yaitu nilai, moral dan sikap. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kehidupan modern sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagai perubahan,pilihan dan kesempatan,tetapi mengandung berbagai resiko akibat kompleksitas kehidupan yang ditimbulkan adalah munculnya nilai-nilai modern yang tidak jelas dan membingungkan anak. Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kita harus bisa memahami pola-pola prilaku masyarakat terutama remaja yang akan kita didik nanti agar dapat menjadi pribadi teladan yang akan mengajar, mendidik dan memahami kondisi remaja yang akan kita hadapi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.        Esensi Penanaman Nilai-Nilai Agaman
Menurut pandangan ajaran agama khususnya islam, setiap manusia yang lahir berada dalam keadaan suci, dan factor penentu kualitas keagamaan anak itu sendiri banyak ditentukan oleh peran serta kedua orang tuanya. Landasan itu memberi makna bagi kita bahwa ternyata factor lingkungan keluarga adalah peringkat pertama yang akan memberi warna dasar bagi nilai-nilai keagamaan anak. Dengan demikian peran serta orang tua tidek boleh asal dan hanya sekedarnya saja pada saat memulai pengenalan  pengetahuan dan pengembangan nilai-nilai keagamaan anak. Agar anak memiliki kualitas fondasi agama yang kokoh , maka orang tua harus berperan serta secara berkualitas. Menurut Badudu Zein (1996), anak adalah keturunan pertama (setelah ibu dan bapak). Anak-anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai potensi laten untuk tumbuh dan berkembang.

B.     Munculnya Nilai Agama Pada Diri Anak Taman Kanak-Kanak
Nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman belajarnya., akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi dalam menghayati apa yang telah dipelajarinya. Lain halnya dengan anak yang mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam keluarganya, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat agamis, kawan sebayanya taat beribadah, ditambah  dengan pengalaman-pengalaman keagaamaan yang baik disekolah maupun tempat-tempat ibadah maka dengan sendirinya anak itu akan memiliki kecenderungan untuk hidup dengan kebiasaan nilai-nilai agama yang dianutnya.
1.      Fenomena Munculnya Nilai Keagamaan Anak
Rasa keagamaan dan nilai-nilai keagamaan akan tumbuh dan berkembang pada diri anak seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak itu sendiri.
Demikian pun dengan pengetahuan keagamaan, anak Taman Kanak-Kanak perlu diperkenalkan dengan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya. Anak menjadi mengenal tuhan dari bahasa yang diucapkan oleh orang dewasa yang ada disekelilingnya.
2.      Perkembangan Nilai-nilai Keagamaan Anak
Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi perkembangan  nilai-nilai keagamaan pada diri anak, yaitu :

a.              Factor pembawaan (Internal)
Perbedaan hakiki antara manusia dengan hewan adalah dimilikinya akal pikiran yang merupakan potensi termahal dan tidak dimiliki oleh makhluk b lain sesame ciptaan Tuhan. Akal pikiran itu diharapkan akan mampu membimbing dan mengarahkan serta mendorong manusia ke jalan yang benar, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk dan membentuk peradaban kehidupan yang sempurna sebagai insan mulia.
b.              Faktor Lingkungan (Eksternal)
Factor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar (Eksternal) yang memberi rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Factor  eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam ilmu pendidikan kondisi fisik anak sangat jauh  berbeda dengan orang dewasa, dalam banyak hal. Anak-anak sesuai dengan fisiknya yang kecil, dalam pandangan pikiran dan kemampuannya pun memiliki keterbatasan dibandingkan dengan kemampuan orang dewasa. Jadi, akan sangat tidak manusiawi apabila ada diantara kita yang mengukur kemampuan anak dengan ukuran dan kriteria kemampuan orang dewasa dan memperlakukan anak disamakan dengan orang dewasa. Berikut ini akan dipaparkan beberapa kemungkinan tentang sifat-sifat pemahaman anak Taman Kanak-kanak terhadap nilai-nilai keagamaan pada saat mengikuti kegiatan belajar mengajar, yaitu :
a.              Unreflective
Istilah unreflective menurut Jhon Eckol (1995) dapat dimaknai sebagai tidak mendalam, tidak/kurang dapat memikirkan secara mendalam atau anak tidak dapat merenungkannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang abstrak, seperti pengetahuan/ajaran agama, tidak merupakan hal yang harus diperdulikan dengan serius.
Secara nyata kita dapat menemukan bahwa hakikat pemahaman dan kemampuan anak dalam mempelajari nilai-nilai agama yang sering menampilkan suatu hal yang tidak serius  (seperti layaknya orang dewasa), bercanda, main-main dan asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya.
b.              Egocentris
Sifat yang kedua ini memiliki makna bahwa pada diri anak sesuai dengan perkembangan kejiwaannya lebih mementingkan kemauan dirinya sendiri dalam segala hal. Tidak perduli dengan urusan orang lain dan lebih terfokus pada hal-hal yang menggantungkan dirinya. Demikian pun dengan sifat anak pada saat mempelajari nilai-nilai agama yang dipelajarinya.
c.              Misunderstand
Ketika kita membicarakan berbagai hal yang bersifat abstrak, ( seperti masalah-masalah ajaran agama) kepada orang dewasa, kitatidak dapat menjamin bahwa apa yang kita maksud akan mampu dipahami dengan 100% benar oleh orang dewasa.
Demikian pula, sangan mungkin al itu (misunderstand) akan muncul dikalangan anak-anak di usia prasekolah, ketika kita mengenal berbagai hal yang terkait dengan pengembangan nilai-nilai agama. Dilandasi oleh belum sempurnanya komponen psokologis dan fisiologis anak didik, tentu akan banyak hal yang dapat kita tangkap, seperti terjadinya salah persepsi ketika mereka belajar memahami makna dari sebuah ajaran/pengetahuan agama yang bersifat abstrak tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh sistem pendidikan neo humanis dalam masalah spiritualitas dikatakan bahwa: bagi anak kecil, segala-galanya itu semua hidup, dan menjadi sumber kekaguman (I. Ketut, 1999:84).
d.             Verbalis dan Ritualis
Anak usia taman kanak-kanak sekitar 3 sampai 6 tahun, berada pada fase perkembangan kosa yang sangat pesat. Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth B. H. 1997:188): setiap anak belajar berbicara, mereka berbicara hampir tidak putus-putusnya. Keterampilan baru menimbulkan rasa penting bagi mereka.

C.    Tahapan Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg ada tiga tahapan perkmbangan:
1.      Tingkatan tahapan Prokonvensional
Dimana aturan ini berisi tentang ukuran Moral yang di buat otoritas oleh lembaga terkait, pada tahapan perkembangan ini anak –anak tidak akan melanggar ketentuan yang berlaku di lembaganya, di karnakan merasa takut  atas ancaman dan hukuman yang telah di tentukan oleh lembaganya, sehingga anak secara tidak sadar di tuntut untuk melaksanakan peraturan dan takut melakukan larangan yang ada imbasnya anak akan selalu melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek.
Tingkatan yang pertama ini di bagi dua (2) tahap lagi:
o   tahap orientasi terhadap kepatuhan dan  hukuman: pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada ini di tentukan oleh adanya kekuasaan yang mana tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Jadi dalam tahapan ini mau atau tidak harus mentaati peraturan yang ada, di karnakan kalau tidak anak akan mendapatkan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan.
o   Tahap Relativistik hedonosme: pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada peraturan yang berlaku diluar dirinya yang di lakukan oleh orang lain yang mempunyai otoritas. Jadi dalam hal ini anak sudah memulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (Relativisme ) orang yang membuat peraturan dan kesenangan seseorang.
2.      Tingkatan tahap Konvensional: dalam hal ini anak dituntut untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama-sama agar dia mau diterima di kelompok sebayanya.
Kelompok ini tediri dari dua (2) tahap:
Ø  Tahap Orientasi mengenai anak yang baik: dalam tahapan ini anak mulai memperlihatkan orientasi terhadap perbuatan yang di nilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau sekitarnya. Sesuatu dikatakan baik dan banar apabila segala sikap dan prilaku atau perbuatanya dapat di terima oleh orang lain atau sekiternya.
Ø  Tahapan mempertahankan Norma sosial dan otoritas : pada tahapan ini anak anak mulai menunjukan perbuatan yang benar bukan hanya agar supaya diterima oleh lungkungan  atau sekitarnya saja akan tetapi juga bertujuan agar supaya dirinya dapat ikut serta mempertahankan aturan dan norma atau nilai social yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab Moral untuk melaksanakan peraturan yang ada.
3.      Tingkatan tahapan pasca Konvensional: pada tahapan ini anak mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkatan ini juga terdiri dari dua (2) tahap:
§  Tahap Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahap ini ada hubungan timbale balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Jadi dalam tahap ini anak akan menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab atas dirinya dalam menjaga keserasian hidupnya di sekitarnya.
§  Tahapan Universal: pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat  subyektif ada pula norma etik ( baik atau buruk, benar atau salah ) yang bersifat unifersal sebagai sumber menentukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Perkembangan sosial dan moral yakni suatu proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain baik sebagai indifidu maupun kelompok.
Akan tatapi menurut J.Buul perkembangan moral dibagi menjadi empat(4) yaitu:
1)             Tahap anomi
Ketidak mampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap di kembangkan dalam lingkungan. Artinya bayi lahir dalam keadaan fitrah ( mempunyai potensi ) yang selalu siap untuk di kembangkan. Jadi tergantung yang mau member warna kehidupan,sikap,prilaku,moral yang akan di tanamkan sejak dini pada dirinya.
2)             Tahap heteromoni
Dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang lain atau otoritas melalui aturan dan kedisiplinan. Artinya dengan bantuan orang lain baik keluarga maupun lingkungan itu yang akan memacu perkembangan moralnya.
3)             Tahapan Sosionami
Dimana moral berkembang di tengah sebaya atau dalam masyarakat, mereka lebih menaati peraturan kelompok daro pada yang bersifat otoritas.
4)             Tahap Otonomi
Tahapan ini mengenai tantang moral yang mengisi dan mengendalikan kata hatinya sendiri serta kemampuan bebasnya untuk berprilaku tanpa campur tangan orang lain atau lingkungan.
Ada pendapat yang mengatakan anak dilahirkan itu membawa fitrah keagamaan. Fitra itu baru berfungsi dikemudan hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. disamping itu perkembangan anak pada usia dini ditandai dengan aspek moralitas heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih kesuatu tahap yang perkembanganya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas otonom.


D.    Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral
seperti yang dikemukakan oleh Kohlberg dan Piaget menunjukan bahwa sikap dan prilaku moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi oleh sebab akibat dari aktivitas spontan yang di pelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkunganya.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
a)        peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk berprilaku dimana anak itu tinggal. Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang akan diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang prilaku yang tidak diinginkan.
b)        Hukuman akan diberikan apabila anak melakukan kesalahan atau bertindak yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dimana dia hidup. Hukuman yang menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan atau tidak sesuai, mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk tidak berprilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c)        Penghargaan diberikan apabila anak telah melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang berlaku, mendidik anak dan memotifasi anak agar mengulangi prilaku yang baik dan benar sesuai dengan harapan masyarakat.
d)       Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin  sehingga tidak membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk . disiplin dapat barmanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap prilaku, menimbulkan kepekaan atas sikap yang baik, benar dan adil serta mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap prilaku disiplin merupakan bagian yang terInternalisasi pada anak secara keseluruhan.

E.     Pengembangan Kemampuan Moral dan Agama Anak Usia Dini
Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting.  Menurut Hurlock, istilah moral berasal dari kata latin mos (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai- nilai atau prinsip-prinsip moral (Yusuf,2002). Konsep moral sudah dapat dibentuk sejak masa anak yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun. Meskipun sudah dipelajari sejak kecil, namun setelah dewasa manusia tetap berhadapan dengan masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam berhubungan dengan orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya.
Dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin banyak pula nilai-nilai moral. Menurut Hurlock (Sianawati,dkk, 1992) meskipun perkembangan peserta didik melewati pentahapan yang tetap, namun usia mereka dalam mencapai tahapan tertentu berbeda menurut tingkat perkembangan kognitif mereka. Menurut Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya  anak banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap perkembangaan moral seorang anak.  Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menentukan perilaku moral. Ada tiga strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, strategi aktivitas dan bermain, dan strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
a.     Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
b.     Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama berdasarkan aturan yang berlaku.
c.     Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak diberikan secara formal tapi merupakan pembiasaan dalam kegiatan sehari-hari dengan cara bermain, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan ciri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya.
Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara    2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.

F.     Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbagai situasi.

Keberminatan anak terhadap agama sudah mulai muncul sejak usia dini. Akan tetapi, minat terhadap agama ini tidak dapat selalu ditafsirkan bahwa anak mulai menunjukkan sikap rajin beribadah sesuai dengan ritual keagamaan keluarganya. Rasa ingin tahu anak terhadap agama biasanya muncul melalui banyak pertanyaan yang berkaitan dengan agama, seperti “Apakah Tuhan memiliki mata sehingga Dia bisa melihat semua perbuatan yang kita lakukan?” atau “Dimanakah Tuhan bertempat tinggal? Atau pertanyaan lain yang mengusik seperti “Apakah Tuhan itu ada?”
Konsep anak tentang agama sangat realistik karena anak menterjemahkan apa yang didengar dan dilihat sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya. Bagi anak, Tuhan dapat berwujud, seperti seseorang yang berambut putih, berjanggut putih dan panjang serta berpakaian serba putih. Contoh lainnya, anak mungkin  mendeskripsikan sesosok malaikat sebagai makhluk yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan baik hati

Tahap Usia 0 - < 12 Bulan :
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki kemampuan untuk mendengar sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai  agama dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui : Pengenalan  senandung lagu bernuansa imtak kepada Anak
Ø  Pengenalan doa-doa singkat yang dibacakan kepada Anak
Ø  Bercerita yang bernuansa keimanan kepada Anak
Ø  Mengenalkan Nama Tuhan Kepada Anak (sesuai dengan agama masing)
Ø  Memberikan belaian kepada Anak untuk dapat memberikan rasa sayang dan cinta kasih
Ø  Mengenalkan ungkapan syair/pantun bernuansa keimanan kepada Anak
Ø  Mengenalkan kalimat/kata-kata yang baik kepada Anak

Tahap Usia 12 - < 24 Bulan :
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki kemampuan untuk mendengar, mengikuti, meniru, merawat benda-benda serta mengenal nama Tuhan, sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai  agama dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui :
Pengenalan  dan mengajak Anak untuk menirukan senandung lagu bernuansa imtaq
Ø  Pengenalan dan mengajak Anak untuk mengikuti/menirukan bacaan doa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan
Ø  Mengenalkan dan mengajak Anak untuk mengikuti dan menirukan sebagian gerakan ibadah
Ø  Pengenalan dan bercerita serta meminta respon Anak terhadap cerita bernuansa imtak
Ø  Mengenalkan dan mengajak Anak untuk menirukan sebutan nama Tuhan (sesuai dengan agama masing2)
Ø  Memberikan belaian dan rangkulan kepada anak untuk mengajak anak agar dapat merasakan dan menunjukkan rasa sayang cinta kasih yang diberikan kepadanya
Ø  Merawat dan merapikan benda-benda/mainan
Ø  Pengenalan dan mengajak anak menirukan  syair/pantun sederhana bernuansa imtak
Ø  Pengenalan dan mengajak anak meniru kata-kata yang baik

Tahap Usia 2 – <4 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki kemampuan untuk meniru dan memahami, sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai  agama dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui :
a.    Usia 2 – <3 Tahun
Pada tahap usia ini, sesuai dengan indikator dalam Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak, stimulasi yang dapat diberikan oleh guru dalam mengembangkan kemampuan moral dan agama anak adalah :
Ø  Meniru gerakan berdoa/sembahyang  sesuai dengan agamanya.
Ø  Melafalkan dan meniru doa pendek sesuai dengan agamanya.
Ø  Memahami kapan mengucapkan salam, terima kasih, maaf, dsb.

b.     Usia 3 – <4 Tahun
Pada tahap usia ini, sesuai dengan indikator dalam Standar Pencapaian Perkembangan Anak, stimulasi yang dapat diberikan oleh guru adalah :
Ø  Mulai memahami pengertian perilaku yang berlawanan meskipun belum selalu dilakukan seperti pemahaman perilaku baik-buruk, benar-salah, sopan- tidak sopan.
Ø  Mulai memahami arti kasihan dan sayang kepada ciptaan Tuhan

Tahap Usia 4 – <6 Tahun
a.      Usia 4 – <5 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, meniru gerakan ibadah, mengucapkan doa, mengenal baik dan buruk serta mengucapkan dan membahas salam, sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai  agama dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui :
·         Mengenalkan Tuhan melalui agama yang dianutnya.
·         Meniru dan melakukan gerakan beribadah.
·         mengucapkan doa sebelum dan/atau sesudah melakukan sesuatu.
·         Mengenal dan melakukan perilaku baik/sopan dan buruk.
·         Membiasakan diri berperilaku baik.
·         Mengucapkan dan membalas salam

b.    Usia 5 – <6 Tahun
Pada tahap usia ini, anak diharapkan memiliki kemampuan untuk mengenal agama yang dianut, membiasakan beribadah, memahami perilaku mulia, membedakan perilaku baik dan buruk , mengenal ritual dan hari besar agama, serta toleransi beragama sehingga dalam mengembangkan nilai-nilai  agama dan moral, guru dapat memberikan stimulasi melalui :
·         Mengenalkan kepada anak  agama yang dianut.
·         Membiasakan diri beribadah.
·         Memahami perilaku mulia (jujur, penolong, sopan, hormat, dsb).
·         Mengenalkan anak perilaku baik dan buruk.
·         Mengenalkan anak pada  ritual dan hari besar agama.
·         Menghormati agama orang lain.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya setiap permainan dapat mengembangkan nilai moral dan agama pada anak, meskipun kita tidak dapat melihat efeknya secara langsung. Melalui permainan anak-anak sedikit demi sedikit belajar memahami nilai-nilai moral dan agama yang ada dilingkungannya dengan pengawasan dan bimbingan yang mendukung dari orang dewasa yang ada di lingkungan bermain anak. Nilai moral seperti kejujuran, toleransi, empati, hati nurani yang mengacu kepada pengaturan internal standar benar dan salah di dapat anak melalui interaksi dengan teman sebaya pada saat bermain.  

 



DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E. B., 1999. Perkembangan Anak Jilid 2 (Edisi 6). Penerbit Erlangga : Jakarta
Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mianan dan Permaianan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasrana indobesia.
Munandar. S.C.U., 1995 Perkembangan Kreativitas Anak Berbakat.  Rineka Cipta kejasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Santrock, Jhon W, 2011. Masa Perkembangan Anak. Salemba Humanika : Jakarta
Sumintarsih, 2008. Permainan Tradisional Jawa. Penerbit kepel press : Yogyakarta

Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2009), hlm. 149

Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010), hlm. 113-114

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 63-64


Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 47-48

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asam Amino

Makalah Buah Manggis

Budidaya Rambutan