Bumi dan Isinya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Abu
Hurairah, r.a. menceritakan bahwa Rasulullah memegangnya lalu bersabda, “Allah
menciptakan bumi pada hari Sabtu,dan menciptakan gunung di atasnya pada hari
ahad, menciptakan pepohonan pada hari senin, menciptakan sesuatu yang dibenci
pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, dan menyebarkan binatang
melata di atasnya pada hari kamis, dan
menciptakan Adam A.s setelah ashar pada hari Jum’at ” (HR. Muslim dan Nasa’i).
Bumi adalah planet ketiga dari delapan planet
dalam Tata Surya. Diperkirakan usianya mencapai 4,6 milyar tahun. Jarak antara
Bumi dengan matahari adalah 149.6 juta kilometer atau 1 AU (ing: astronomical
unit). Bumi mempunyai lapisan udara (atmosfer) dan medan magnet yang disebut
(magnetosfer) yang melindung permukaan Bumi dari angin matahari, sinar ultra
ungu, dan radiasi dari luar angkasa. Lapisan udara ini menyelimuti bumi hingga
ketinggian sekitar 700 kilometer. Lapisan udara ini dibagi menjadi Troposfer,
Stratosfer, Mesosfer, Termosfer, dan Eksosfer.
Lapisan ozon, setinggi 50 kilometer, berada
di lapisan stratosfer dan mesosfer dan melindungi bumi dari sinar ultra violet.
Perbedaan suhu permukaan bumi adalah antara -70°C hingga 55°C bergantung pada
iklim setempat. Sehari di dibagi menjadi 24 jam dan setahun di bumi sama dengan
365,2425 hari. Bumi mempunyai massa seberat 59.760 milyar ton, dengan luas
permukaan 510 juta kilometer persegi. Berat jenis Bumi (sekitar 5.500 kilogram
per meter kubik) digunakan sebagai unit perbandingan berat jenis planet yang
lain, dengan berat jenis Bumi dipatok sebagai 1.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini penulis akan menjelaskan tentang bumi dan isinya dimana dalam
makalah ini penulis hanya menjelaskan bagian-bagian yang terpenting sehingga
pembaca dan pendengar tidak monoton dalam mengingat dan memaparkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bumi
Bumi terbentuk miliaran tahun lalu, tetapi
permukaan Bumi telah banyak mengalami proses perkembangan dan perubahan
sepanjang masa. Perubahan tersebut bersifat cepat maupun lambat. Penyebab
perubahan tersebut adalah gaya dari dalam bumi (Endogen) dan tenaga dari luar
Bumi (eksogen).
Bumi merupakan bagian dari sistem galaksi yang
berada di jagat raya, yaitu galaksi Bimasakti. Tahukah kamu apa yang disebut
dengan galaksi? Dalam ilmu astronomi, galaksi diartikan sebagai suatu sistem
yang terdiri dari bintang-bintang, gas dan debu yang amat luas, dimana
anggotanya mempunyai gaya tarik-menarik (gravitasi). Bumi yang kita tempati
hanya bagian kecil saja dari galaksi Bimasakti, yaitu bagian dari tata surya
dengan matahari sebagai pusatnya.
Bimasakti bukanlah satu-satunya galaksi yang ada di
alam semesta ini. Jumlah keseluruhan galaksi yang dapat dipotret dengan
teleskop berdiameter 5m di Observatorium Hale mungkin sampai kira-kira satu
miliar galaksi. Galaksi-galaksi inilah pengisi jagat raya.
1. Teori Kabut Kant-Laplace
Sejak
jaman sebelum Masehi, para ahli telah banyak berfikir dan melakukan analisis
terhadap gejala-gejala alam. Mulai abad ke 18 para ahli telah memikirkan proses
terjadinya Bumi. Ingatkah kamu tentang teori kabut (nebula) yang dikemukakan
oleh Immanuel Kant (1755) dan Piere de Laplace (1796)? Mereka terkenal dengan
Teori Kabut Kant-Laplace. Dalam teori ini dikemukakan bahwa di jagat raya
terdapat gas yang kemudian berkumpul menjadi kabut (nebula). Gaya tarik-menarik
antar gas ini membentuk kumpulan kabut yang sangat besar dan berputar semakin
cepat. Dalamproses perputaran yang sangat cepat ini, materi kabut bagian
khatulistiwa terlempar memisah dan memadat (karena pendinginan). Bagian yang
terlempar inilah yang kemudian menjadi planet-planet dalam tata surya.
2. Teori Planetesimal
Seabad
sesudah teori kabut tersebut, muncul Teori Planetesimal yang dikemukakan oleh
Chamberlin dan Moulton. Teori ini mengungkapkan bahwa pada mulanya telah
terdapat matahari asal. Pada suatu ketika, matahari asal ini didekati oleh
sebuah bintang besar, yang menyebabkan terjadinya penarikan pada bagian
matahari. Akibat tenaga penarikan matahari asal tadi, terjadilah
ledakan-ledakan yang hebat. Gas yang meledak ini keluar dari atmosfer matahari,
kemudian mengembun dan membeku sebagai benda-benda yang padat, dan disebut
planetesimal. Planetesimal ini dalam perkembangannya menjadiplanet-planet, dan
salah satunya adalah planet Bumi kita.
Pada
dasarnya, proses-proses teoritis terjadinya planet-planet dan bumi, dimulai
daribenda berbentuk gas yang bersuhu sangat panas. Kemudian karena proses waktu
dan perputaran (pusingan) cepat, maka terjadi pendinginan yang menyebabkan
pemadatan (pada bagian luar). Adapaun tubuh Bumi bagian dalam masih bersuhu
tinggi.
3. Teori Pasang Surut Gas
Teori
Pasang Surut Gas ini dikemukakan leh jeans dan Jeffreys, yakni bahwa sebuah
bintang besar mendekati matahari dalam jarak pendek, sehingga menyebabkan
terjadinya pasang surut pada tubuh matahari, saat matahari itu masih berada
dalam keadaan gas. Terjadinya pasang surut air laut yang kita kenal di Bumi,
ukuranya sangat kecil. Penyebabnyaadalah kecilnya massa bulan dan jauhnya jarak
bulan ke Bumi (60 kali radius orbit Bumi). Tetapi, jika sebuah bintang yang bermassa hampir sama
besar dengan matahari mendekati matahari, maka akan terbentuk semacam
gunung-gunung gelombang raksasa pada tubuh matahari, yang disebabkan oleh gaya
tarik bintang tadi. Gunung-guung tersebut akan mencapai tinggi yang luar biasa
dan membentuk semacam lidah pijar yang besar sekali, menjulur dari
massamatahari tadi dan merentang kea rah bintang besar itu.
Dalam
lidah yang panas ini terjadi perapatan gas-gas dan akhirnya kolom-kolom ini
akan pecah, lalu berpisah menjadi benda-benda tersendiri, yaituplanet-planet.
Bintang besar yang menyebabkan penarikan pada bagian-bagian tubuh matahari
tadi, melanjutkan perjalanan di jagat raya, sehingga lambat laun akan hilang
pengaruhnya terhadap-planet yang berbentuk tadi. Planet-planet itu akan
berputar mengelilingi matahari dan mengalami proses pendinginan. Proses
pendinginan ini berjalan dengan lambat pada planet-planet besar, seperti Yupiter dan Saturnus,
sedangkan pada planet-planet kecil seperti Bumi kita, pendinginan berjalan
relatif lebih cepat.
Sementara
pendinginan berlangsung, planet-planet itu masih mengelilingi matahari pada
orbit berbentuk elips, sehingga besar kemungkinan pada suatu ketika meraka akan
mendekati matahari dalam jarak yang pendek. Akibat kekuatan penarikan matahari,
maka akan terjadi pasang surut pada tubuh-tubuh planet yang baru lahir itu.
Matahari akan menarik kolom-kolom materi dari planet-planet, sehingga lahirlah
bulan-bulan (satelit-satelit) yang berputar mengelilingi planet-planet. peranan
yang dipegang matahari dalam membentuk bulan-bulan ini pada prinsipnya sama
dengan peranan bintang besar dalam membentuk planet-planet, seperti telah
dibicarakan di atas.
4. Teori Bintang Kembar
Teori Bintang Kembar ini
dikemukakan oleh seorang ahli Astronomi R.A Lyttleton. Menurut teori ini,
galaksi berasal dari kombinasi bintang kembar. Salah satu bintang meledak
sehingga banyak material yang terlempar. Karena bintang yang tidak meledak
mempunyai gaya gravitasi yang masih kuat, maka sebaran pecahan ledakan bintang
tersebut mengelilingi bintang yang tidak meledak. Bintang yang tidak meledak
ituadalah matahari, sedangkan pecahan bintang yang lain adalah planet-planet
yang mengelilinginya.
5.
Teori Dentuman besar (Big
Bang Theory)
Teori ini berdasarkan jenis asumsi adanya massa
yang sangat besar dan mempunyai massa jenis sangat besar. Adanya reaksi inti
menyebabkan amssa tersebut meledak hebat. Massa tersebut kemudian mengembang
dengan sangat cepat, menjauhi pusat ledakan. Karena adanya gravitasi, maka
bintang yang paling kuat gravitasinya akan menjadi pusatnya.
Dari berbagai teori yang dikemukakan para ahli,
kebanyakan ilmuwan mendukung teori dentuman besar. Menurut mereka, ledakan
besar tersebut merupakan awal terbentuknya alam semesta.
B.
Isi Bumi
Bumi selalu dianggap berbentuk bulat dan mempunyai gravitasi
yang sama di seluruh permukaannya. Kenyataannya tidak begitu. Karena massa di
perut bumi memiliki kerapatan yang heterogen, maka terjadilah penyimpangan gaya
gravitasi. Anomali itulah yang justru dicari para memburu minyak bumi dan para
penambang.
Untuk menggambarkan bentuk bumi, ada beberapa model yang
dipakai, di antaranya dipilih bentuk ellipsoida dan digunakan asumsi bahwa
densitas (kerapatan) bumi homogen. Padahal, kenyataannya, kerapatan massa bumi
itu heterogen yang juga diliputi air, batuan leleh, minyak, dan gas. Di
permukaan bumi ada gunung-gunung yang memendam magma, sebagiannya ditutupi
lautan, dan di bawahnya bersembunyi cekungan minyak. Daerah-daerah tersebut
gaya beratnya lebih rendah dibandingkan dengan permukaan atau lapisan bumi yang
padat dan rapat.
Dengan ditemukannya kondisi itu, bentuk ellipsoid bumi yang
ideal tadi memiliki jarak dengan bentuk geoid, yaitu model bumi yang mendekati
bentuk bumi sesungguhnya. Secara praktis geoid dianggap berimpit dengan
permukaan laut rata-rata pada saat keadaannya tenang dan tanpa gangguan cuaca.
Jarak
geoid terhadap ellipsoid itu—yang disebut undulasi geoid—jelas tidak sama di
semua tempat, karena ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi itu. ”Beda
tinggi antara ellipsoid dan tinggi geoid sangatlah bervariasi dan besarnya bisa
mencapai puluhan meter,” urai Joenil Kahar, pakar Geodesi Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Pengukuran
”geoid”
Peta geoid dibuat berdasarkan pengukuran gaya berat bumi di
setiap tempat menggunakan alat ukur yang disebut dengan gravimeter. Pengukuran
itu dilakukan dengan mengacu pada jejaring berupa garis-garis sejajar dengan
kerapatan tertentu, yang direncanakan di atas peta.
”Bagi
kegiatan survei pemetaan, geoid digunakan untuk acuan tinggi rupa bumi atau
topografi,” kata Jacub Rais, pakar geomatika yang juga guru besar emeritus di
ITB.
Untuk keperluan aplikasi geodesi, geofisika, dan oseanografi
dibutuhkan juga geoid dengan ketelitian yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan
dengan memadukan sistem global positioning system (GPS) yang dapat mengukur
ketinggian permukaan bumi di mana pun dan kapan pun, serta tidak tergantung
cuaca di seluruh permukaan bumi.
Dalam bidang geodesi, informasi geoid yang teliti ini
dipadukan dengan sistem GPS dalam penentuan tinggi ortometrik digunakan untuk
berbagai keperluan praktis, seperti pembangunan infrastruktur bangunan,
bendungan, dan saluran irigasi.
Teknik pengukuran aerial gravitasi adalah menempatkan alat
gravimeter di pesawat terbang yang mengudara dengan kecepatan, tinggi, dan arah
tertentu, banyak digunakan setelah era GPS, karena memberi akurasi posisi yang
sangat teliti.
Adapun teknik pengukuran dari antariksa dengan menempatkan
sensor gravitasi pada satelit, baru diterapkan pada era milenium ini dengan
diluncurkannya satelit gravitasi, seperti Champ, Grace, dan Goce.
Data gravitasi ini diaplikasikan antara lain untuk pencarian
sumber daya alam, seperti mineral, hidrokarbon, gas, geotermal, dan hidrologi.
Selain itu, juga untuk mengetahui deliniasi struktur bumi yang berhubungan
dengan bencana alam, seperti patahan, tanah longsor, dan gunung api.
Informasi
geoid yang dibuat dari data gaya berat diperlukan untuk penerapan sistem tinggi
dengan teknik satelit, seperti GPS, Galileo, dan Glossnas, serta unifikasi
sistem tinggi untuk pemetaan serta menunjang penelitian kenaikan paras muka
laut dan sirkulasi arus laut.
Di
Indonesia
Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan
oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong
sempit. Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap
kondisi lapisan permukaan bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di
luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat,
bahkan Papua masih tergolong blank area.Penyediaan data gaya berat secara
nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan
menggandeng Denmark Technical University.
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat
terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI)
2008, Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei
di darat atau teresterial dan satelit. Dengan pesawat terbang jangkauan lebih
luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan
dangkal hingga pesisir. Selain itu juga memberikan kesinambungan data antara
laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan satelit. Biaya
yang dikeluarkan pun relatif lebih murah.
Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap
pertama dilakukan di seluruh Sulawesi, sebagai daerah yang memiliki topografi
yang kompleks. Diharapkan survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh
Indonesia dapat diselesaikan pada tahun 2012.
Komentar
Posting Komentar